Suatu Senja di
2006
Oleh :
Riyan sanjaya
Aku
adalah seorang pemuda biasa yang terlahir dikeluarga sederhana. Maryono adalah
nama ayahku, ayah terhebat diseluruh dunia. Manusia terkuat kedua yang pernah
aku kenal setelah ibuku. Kulit hitam gelam, wajahnya penuh dengan keringat,
pakaiannya lusuh tertutup jaket hitam tanpa seleting sedangkan rambutnya yang
telah berwarna putih ditutupi topi yang kusam, itulah ayahku. Ia menafkahi kami
dengan bekerja sebagai petani karet. Setiap hari ayahku pergi menyadap karet
pukul lima subuh dan baru pulang pukul lima sore. Keluar masuk hutan rimba
sejauh tujuh kilometer, melewati sungai jerami yang berarus terjal, dan
terkadang ia harus berjalan melewati rawang
ketika musim penghujan tiba. Semua itu ia lakukan hanya untuk dapat melihat
anak-anaknya sukses dimasa depan. Begitu pun dengan Ibuku. Ia adalah seorang
wanita terkuat yang pernah diciptakan tuhan. Entah bagaimana cara tuhan
menciptakannya hingga ibuku dapat menjelma menjadi wanita perkasa yang dapat
melakukan segalanya. Bahkan banyak hal yang tidak dapat dilakukan ayahku tapi
dapat dilakukan oleh ibuku. Ibuku adalah seorang wanita pekerja keras yang
pernah ada sepanjang sejarah manusia. Tidak hanya mampu mengurusi rumah tapi ibuku
juga seorang pencari nafkah untuk menghidupi anak-anak kesayangannya. Bersama
dengan suaminya yang tercinta ibuku bekerja sebagai petani karet. Saban hari
ibuku selalu bersama ayahku di kebun karet, berdua saja tanpa ada orang lain,
sebuah kisah cinta yang paling romantis yang tak akan terlekang oleh
waktu. Lebih dari itu, dari rahimnya
lahirlah tujuh orang anak yang disebutnya sebagai pembawa berkah dan kedamaian
dalam hidupnya, Itulah kenapa aku sebut ibuku adalah wanita perkasa di seluruh
dunia. Aku sendiri adalah pembawa berkah ke-enam dalam hidupnya.
Satu hal lagi yang ingin aku beritahu tentang
orang tuaku, Ayahku sekarang berumur 62 tahun dan ibuku enam tahun lebih muda
dari ayahku. Seharusnya mereka telah menikmati masa pensiun sekarang, tapi
nyatanya meraka masih harus tetap menyadap karet setiap hari tanpa mengenal
rasa lelah, untuk dapat membiayai sekolah anak-anaknya. Karena bagi kedua orang
tuaku cukup mereka saja yang mesrasakan betapa susah dan terjalnya kehidupan,
jangan sampai pengalaman pahit yang mereka rasakan juga dirasakan oleh
anak-anaknya.
Sudahku
sebutkan di atas bahwa aku adalah anak ke-enam dari tujuh bersaudara. Lima
diantara kami adalah perempuan dan hanya dua laki-laki termasuk aku. Di
keluarga kami cuma ada tiga orang laki-laki ayahku, abangku, dan aku. Abangku
berumur tiga puluh tujuh tahun dan telah mempunyai dua orang anak perempuan
yang manis-manis, sedangkan aku baru berumur 17 tahun dan masih mengenyam
pendidikan. Keadaan ini membuat aku menjadi laki-laki yang paling disayang dikeluargaku.
Mempunyai
banyak saudara menjadikan hidupmu penuh warna dan tak pernah sepi. Saudara
adalah sahabat terbaik didunia. Mereka akan selalu ada untukmu dalam keadaan
apapun. Mereka akan selalu ada untuk menghiburmu dikala badai menerpa.
Mengembalikan kebahagiaanmu dengan ikhlas. Menciptakan garis-garis kebahagiaan
di wajahmu. Saling bertukar lelucon dan tertawa bersama. Melakukan eksperimen
aneh yang pasti kau rindukan ketika beranjak dewasa. Walau bukan tak jarang kau
juga akan berkelahi dengan saudaramu hanya karena hal sepele. Tapi, hal-hal seperti itulah yang akan
menjadi kenangan terbaikmu. Sejarah terindah sepanjang masa.
Pernah
pada suatu senja di 2006 saat aku, ayukku
yang ke-lima, dan ibuku berjalan bersama di bawah semburat oranye. Sementara
ayahku pulang dengan motor sambil membonceng getah karet yang telah dicetak
untuk diletakkan ke pangkalan di desa. Hari itu aku dan ayukku ikut ke kebun untuk membantu orang tua kami, tapi sebenarnya
tujuan utama kami adalah untuk mengambil buah mempelam. Hampir mirip buah mangga tapi ukurannya lebih kecil dan rasanya
asam manis ketika sudah matang.
Senja sore itu adalah senja termanis yang tak
dapat aku lupakan. Kala itu lazuardi berubah warna menjadi jingga. Sepanjang jalan
kami tak berjumpa dengan orang lain, hanya ada kami bertiga. Saat itu ibuku
memikul keranjang yang berisikan lima belas labu dan buah mempelam yang telah
kami petik. Ia tak tampak keberatan, baginya itu hal yang lumrah yang biasa ia
lakukan. Sementara aku dan ayukku tak
membawa apa-apa. Kami bertiga menempuh jalan tanah yang dikelilingi oleh hutan
rimba. Aku yang saat itu masih berumur
lima tahun sesekali merengek minta untuk berhenti sejenak karena merasa letih, tapi
karena kami harus cepat, rengekan ku tak dihiraukan. Kami masih melanjutkan
perjalanan dengan ayukku
menggendongku dibelakang punggungnya. Aku merasa sangat nyaman berada dalam
gendongan ayukku. Letih yang aku
rasakan dengan sekejap berubah menjadi kehangatan, sebuah kehangatan yang aku
rindukan saat ini.
Hampir
sekitar dua kilometer ayukku
menggendongku, setelah itu aku minta turun karena kasihan melihat ayukku. Pasti ia merasa letih hanya saja
tidak ia ungkapkan.
Kami
sempat singgah di Talang Deras, sebuah perkampungan kecil di dalam hutan rimba
yang jaraknya sekitar lima kilometer dari desa kami. Disana kami singgah di
pondok uakku untuk berehat sejenak, melemaskan otot-otot kaki sambil makan ubi
rebus.
“Nah,
Riyan dan Umi ikut ke kebun?” tanya uakku memulai pembicaraan.
“Iya
uak, kami tadi memanjat pohon buah amplam,
tadi ayuk Umi hampir jatuh dari pohon
karena diserang semut” jawabku sambil melahap ubi rebus.
“Oyy!
Untung tidak jatuh, kalau jatuh bisa patah tulang. Lain kali lihat-lihat dulu kalau
banyak semut gunakan galah kan bisa.” Tukas uakku sambil menyodorkan air minum
padaku.
“Ii..iiya
uak.” Balas ayukku dengan nada takut.
Setelah
berehat kami kembali melanjutkan perjalanan pulang. Bagian inilah yang paling
menegangkan hingga tak dapat aku lupakan. Jarak yang tersisa untuk sampai desa
kami hanya tinggal lima kilometer lagi. Tapi kali ini kami harus memasuki hutan
rimba yang sangat lebat . Aku dan
ayukku sebenarnya takut, tapi untung ada ibuku si wanita perkasa di seluruh
dunia. Ia yang meyakinkan kami bahwa tidak ada apa-apa di dalam hutan tersebut.
Sebelum
masuk kedalam hutan kami juga harus melewati sungai yang arusnya sangat deras.
Untuk melewati sungai tersebut hanya ada satu cara yaitu dengan menggunakan
jembatan yang hanya terdiri dari dua buah papan. Jujur di sini aku merasa
sungai tersebut seakan-akan memanggil-manggil namaku. Seakan sungai tersebut
tak sabar lagi untuk melahap tubuhku yang mungil ini. Jika aku jatuh mungkin akan
sulit untuk ditemukan karena air sungai yang sangat dalam dan warnanya yang
coklat. Pernah ada kejadian orang jatuh kedalam sungai tersebut dan untuk
menemukannya membutuhkaan waktu satu minggu hingga tubuhnya mengapung di air
dan itu pun ditemukan sekitar lima kilometer dari tempatnya terjatuh.
Ibuku
dengan santai melewati jembatan tersebut, disini aku sangat kagum dengan ibuku
meskipun ia membawa keranjang yang sangat berat tapi tak ada rasa takut sedikit
pun dalam dirinya untuk melewati sungai tersebut. Aku lihat ibuku sudah di
seberang sungai, ia berhenti menunggu aku dan ayuk ku untuk menyeberang. Ketakutan segera menyelimuti tubuhku
saat kakiku hendak menginjak papan
tersebut. Aku merengek takut untuk menyeberang. Ayukku terus mengingatkanku bahwa aku tak akan jatuh tapi aku tetap
saja takut. Akhirnya ayukku mengambil
keputusan untuk melewati sungai tersebut dengan menggendongku.
“Cepat
naik kebelakang punggung ayuk. Kita
akan melewati jembatan ini bersama-sama. Jika jatuh kita akan jatuh
bersama-sama. Jangan takut ayuk akan
selalu ada”
Aku
hanya terdiam mendengar kalimat ayukku
dan mencoba untuk memberanikan diri naik kebelakang punggungnya.
“Awas
hati-hati Mi, pelan-pelan asal selamat” Ibuku yang berada diseberang sungai
mengingatkan kami.
Perlahan
ayukku mulai melangkahkan kakinya.
Aku hanya diam tak bicara dan memejamkan mata tak mau melihat. Di sepertiga
jembatan aku merasa papan mulai bergoyang-goyang. Disini aku sangat takut
sekali.
“Ayuk..ayuk aku takut”
“Jangan
takut, ayuk akan selalu ada untukmu. Sekarang jangan banyak bergerak supaya
jembatannya tetap stabil”
Setengah
jembatan telah lewat, perlahan tapi pasti kami hampir sampai tinggal dua
langkah lagi kami akan tiba diseberang. Disini aku merasa ada yang mendesak
keluar dari dalam perutku. Aku mengangkat badan agak sedikit keatas, papan
mulai bergoyang tak seimbang. Ayukku
tinggal langkah terakhir dan disinilah ia keluar, aku terkentut jembatan
bergoyang. Byurrr....jatuh. hanyut. Tenggelam. Papan itupun jatuh ke sungai
tenggelam dan hanyut. Habislah sudah riwayat papan itu ia tak akan ditemukan
lagi. Sedangkan kami tersungkur jatuh ketanah. Ibuku terlihat sangat khawatir,
untung saja yang jatuh kesungai papannya bukan kami. Mukaku pucat pasi, sementara
ayukku tertawa terbahak-bahak.
“Oyy!
Untung tidak jatuh kesungai. Meregak ee
jangan metu. Kalau jatuh nian gimana?” Ibuku mengelus dada.
“Riyan
bu banyak bergerak, sampai terkentut-kentut di atas jembatan” jawab ayukku sudah itu ia tertawa.
“sudah,
ayo jalan lagi!”
Matahari telah sangat condong ke
ufuk barat. Langit senja berwarna oranye pekat. Serangga-serangga malam mulai
bermunculan, bunyinya memekikkan telinga. Pohon-pohon seakan mulai merubah diri
menjadi drakula. Di jalan kuning yang menanjak dan becek itu hanya ada kami
bertiga. Kami sempat berhenti sejenak di pinggir jalan untuk mengambil buah keramunting. Ayukku yang mengambilnya untukku.
Setelah itu kami lanjut lagi melangkah menuju rumah. Di perjalanan aku selalu
bernyanyi. Hanya ada satu lagu yang aku tahu saat itu, lagu burung kutilang.
Aku menyayikannya dengan sangat semangat. Di ikuti juga ayukku. Kami mengadakan konser selama perjalanan. Konser yang akan
selalu terkenang. Saat kami sedang asyik-asyiknya bernyanyi tiba-tiba ada
seekor burung melintas di atas kepala kami. Suaranya sangat nyaring.
“Burung
apa itu Yan?” Tanya ibuku.
“Burung
kutilang kan bu?” aku malah balik bertanya
“beee,
bukan. Itu bukan burung kutilang. Itu burung Elang” Ayukku menjawab pertanyaanku
“oooooooh,
burung eeelang” jawabku polos.
Ibuku
hanya tertawa melihaat ekspresiku.
Perjalanan
tinggal sedikit lagi, sekitar setengah kilometer lagi kami sudah keluar dari
hutan rimba ini. Hari sudah semakin gelap. Pohon-pohon yang rimbun membuat
suasana semakin gelap. Kami mempercepat langkah supaya cepat sampai di rumah.
Karena hari semakin gelap kami kesulitan untuk melihat benda-benda di
sekeliling kami. Tiba-tiba tanpa kami sadari ada bau amis yang sangat pekat dan
bunyi aneh di sekeliling kami. Setelah kami mencari tahu dan ternyata sesosok
babi hutan berbadan sangat besar berada tepat di sebelah kiri kami. Panjangnya
kira-kira 1,5 meter dan beratnya kira-kira 100 kilogram. Ia mendengus kearah
kami, kakinya kelihatan mengais-ngais. Aku ketakutan. Ayukku langsung menggendong aku. Kami lari terbirit-birit, terpontang
panting. Begitu juga ibuku. Kami menabrak seluruh benda yang ada didepan kami.
Labu ibuku berjatuhan. Kami terus berlari tanpa henti. Tanpa menghiraukan labu
dan buah mempelam kami yang berjatuhan. Yang kami pikirkan hanya lari untuk
menyelamatkan diri dari babi hutan.
Setelah
sekian lama kami lari, dan kami akhirnya tiba di pinggir desa.
“stop...stop..hhhh...hhhhh.”
napas ibuku terengah-engah.
Kami
stop dan melihat kebelakang, ternyata babi hutan tadi tidak mengejar kami. Kami
tertawa ngakak. Kami beristirahat sejenak di pinggir desa. Ayukku terlihat sangat sangat capek, napasnya tersengal-sengal.
Dalam hati aku berkata “Terima kasih yuk,
kau telah menyelamatkaan nyawaku dua kali hari ini. kenangan ini akan selalu
aku ingat sampai kapanpun”
Setelah beristirahat sejenak kami
langsung bergegas menuju rumah. Badan kami terasa gatal semua. Setibanya
dirumah kami langsung mandi. Kemudian menunaikan salat maghrib berjamaah. Ayahku
sebagai imam. Selesai salat kami makan malam. Aku makan dengan sangat lahap
karena memang sudah kelaparan sejak di perjalanan. Biasanya setelah makan malam
kami sekeluarga akan berkumpul di ruang depan untuk mengobrol dan menonton
bersama. Tapi, untuk malam ini aku langsung tidur karena kecapean. Aku tak
mengiraukan percakapan ibuku yang menceritakan kepada ayahku tentang kejadian
selama perjalanan tadi. Aku tidur sangat pulas hingga ngorok alias mendengkur.
Tamat
catatan kaki :
Rawang
adalah banjir sepanjang jalan karena air sungai yang meluap. Biasanya terjadi
pada musim penghujan.
Ayuk
adalah
kata sapaan untuk kakak perempuan.
Komentar
Posting Komentar