Nah, guys cerita pendek tentang seseorang yang berjuang untuk bisa sekolah dan akhirnya masuk SMA Negeri Sumatera Selatan dan bisa kuliah di London. Namun, ini bukan versi aslinya. cerita ini udah di edit dengan imajinasi Sanjay wkwkwk.
Mimpi
Anak petani karet
ini bukan asli ya wkwkwk |
Tidak
ada yang istimewa dalam hidupku, hanya sebatas anak SMP yang memiliki mimpi
dan berusaha untuk mencari perbedaan di masa depan. Hidup di pelosok desa yang mayoritas kepala keluarganya adalah buruh dan pemulung serta anak mereka
yang kebanyakan Cuma lulusan SMP dan SMA membuat aku menginginkan perbedaan.
Kulit hitam gelam, wajahnya penuh dengan keringat, pakaiannya lusuh tertutup
jaket hitam tanpa seleting sedangkan rambutnya yang mulai ditumbuhi uban ditutupi
topi yang kusam. itulah ayahku. Sebuah sepeda motor
tua miliknya selalu
menemaninya pergi kekebun kaaret setiap hari.Ya,
ayahku menafkahi kami dengan menjadi
petani karet dengan penghasilan 500 ribu sebulan karena harga karet yang anjlok
terlebih kebun tersebut bukan milik kami sehingga kami harus bagi dua hasilnya
dengan pemiliknya. Disamping itu, ibuku hanya
bekerja sebagai ibu rumah tangga karena sejak setahun yang lalu ibuku mengidap
penyakit ginjal dan sekarang ginjalnya yang
bekerja dengan baik hanya satu. Itu lah yang menyebabkan ibu tidak lagi
bekerja. Lain
lagi dengan mamasku yang lulusan SMK sehingga cukup membekalinya bekerja di
bengkel yang tak jauh dari rumah kami.
Aku
sekarang kelas tiga SMP dan berharap dapat melanjutkan ke jenjang SMA. Namun, usahaku untuk
melanjutkan kejenjang SMA membuat sebagian tetanggaku mulai mencemooh
keuargaku.“ kita ini orang miskin, gak perlu punya mimpi untuk sekolahin
anak tinggi-tinggi. Lah wong yang kaya
di sini aja, anaknya gak pakai sekolah juga
masih bias bantu usaha bapaknya.” Ada juga yang nambahin “ orang miskin seperti
kita kalau ingin hidup tenang gak kebelit utang sana sini, ya jangan bertindak
aneh-aneh. Sekolah itu cumaa habiskan uang saja, itu hanya untuk orang-orang
yang berduit.” Ada yang bicara begini “ Ahh… sekolah bilangnya gratis dan murah
tapi ujung-ujungnya jual rumah juga. Sedangkan rumah kalian aja rumah kecil tua
peninggalan kakekmu, mau tinggal dimana kalian?”
Seperti
itulah tanggapan tetanggaku saat tiap kali kedua orang tua memiliki rencana
untuk menyekolahkan kami ke jenjang pendidikkan
yang lebih tinggi.Ungkapan seperti itulah yang kadang mengendurkan semangat
kedua orang tuaku untu bisa memiliki generasi penerus yang lebih baik dari
mereka. Mamasku,
memilih memutuskan semangatnya untuk melanjutkan
sekolahnya karena biaya masuk perguruan tinggi yang terlalu mahal sedangkan
nilai miliknya yang pas-pasan karena hampir setiap hari saat pulang sekolah
dulu, dia selalu membantu mencari uang untuk keluarga yang didalamnya ada tiga
orang anak yang bersekolah.
Namun,
suatu hari saat aku sedang sekolah. Ibu masliya
yang memanggilku untuk menghadapnya ke ruang guru. Akupun segera
menghadap. Bu masliya
bicara padaku “ Ayu, sekarang ada beasiswa untuk anak kelas tiga SMP yang ingin
melanjutkan ke SMA. Beasiswanya mencakupi seragam, tempat tinggal, perlengkapan
sekolah dan makan.Apa kamu mau ikut beasiswa ini? Aku bertanya “ Nama
sekolahnya apa ya bu?” ibu guru menjawab
sambil memberikan posternya padaku “ Nama
sekolahnya adalah SMA Negeri Sumatera Selatan. Letaknya di jakabaring di depan
pasar buah’’ aku menjawab “ nanti dulu ya bu, aku mau membicarakan ini dengan
kedua orang tua ku dulu.” Aku mengambil
poster yang diberikan oleh bu masliya. “
baiklah, tapi jangan terlalu lama cepat beri tahu ibu. Nanti, pendaftarannya
keburu di tutup.”Kata bu guru.“ ya bu” balasku.
Sepulang
sekolah akupun membicarakan hal tersebut dengan orang tua ku dan alhamdulillah
orang tua ku menyetujuinya. Akupun mengikuti seleksi beasiswa tersebut dengan
di bantu oleh guruku. Semuanya biaya foto copy dan print nya di bayar oleh
guruku. Setelah lolos seleksi tahap satu akupun mengikuti seleksi tahap ke
dua.Aku menunggu selama sebulan untuk pengumuman siswa yang lolos seleksi tahap ke dua. Ketika di sekolah ibu Masliya memberitahu ku bahwa
aku lolos seleksi tahap ke dua dan di terima di SMA Negeri Sumatera Selatan.
Aku sangat senang dan sat pulang aku memberitahu orang tuaku mereka pun ikut
senang.
Selama
tiga tahun aku belajar di SMA Negeri Sumatera Selatan. Tanpa terasa masa SMA ku
akan segera berakhir beberapa bulan lagi hingga pengumuman tiba. Disinalah masa
bimbang dan cemasku.Bapak dan ibuku terus bertanya kedepannya.Tanpa
sepengetahuan mereka, guru bimbingan konseling menyarankan untuk mengikuti
beasiswa kuliah yang memang di khususkan untuk orang miskin.Aku mengikutinya
dan melengkapi segala persyaratan yang di butuhkan. Sampai seketika aku masuk
ke salah satu perguruan tinggi Institut Teknologi Bandung dengan beasiswa.Itu
membuat kedua orang tuaku serta mamasku
tersenyum bangga. Namun
senyuman itu hanyalah sesaat, lagi-lagi kendalanya adalah masalah biaya. Jika aku melanjutkan study ku. Berarti aku pergi dan
meninggalkan kota ini. Meski mendapatkan pesangon setiap bulan dari pihak
beasiswa itu mungkin akan cukup untuk keperluan kuliah dan makan saja sedangkan
aku mashi perlu untuk biaya kehiddupan
sehari-hari
dan membayar uang kost atau kontrakan
nantinya.
Bapak
dan ibu ku jalan kesana kesini mencari pinjaman uang. Mengetuk dari pintu
tetangga satu ke pintu tetangga lainnya, namun tak seorangpun yang mau
memberikan bapak atau ibuku sepeser uang. Hanya alasannya kami orang miskin,
tak memiliki apapun sebagai jaminan uang yang kami pinjam akan kembali. Hingga
beberapa hari kemudian, bapak memberiku uang dan menyuruhku untuk segera
berangkat ke Bandung. Aku
tak pernah tahu uang itu dari mana. Bapak hanya bilang kalau mereka akan
berusaha mengirimiku uang dua bulan sekali.
Di
ujung desa, bapak memelukku
sambil menangis ketika hendak melepas keperginku. “nak, bapak doa kan kamu
semoga kamu jadi orang sukses dan bisa jadi doktor suatu hari nanti. Biar gak
susah-susah cari uang seperti bapakmu ini. Biar bisa dihormati
orang kelak suatu hari nanti. Jangan pernah tinggalkan shalat ya nak, karena
itulah dinding yang melindungi mu ketika di sana nanti. Teruslah berdo’a dan
berusaha untuk semua mimpimu” Aku hanya mengangguk seraya mengusap air mataku
yang tak henti-hentinya mengalir. Air mata yang melihat betapa hebatnya orang
tua berkorban hanya demi kebahagian dan masa depan anaknya. Air mata penuh bara
yang mengejar kehidupan yang lebih baik di hari berikutnya.
Hingga
mobil bus mulai berjalan meninggalkan bapak. Tangannya melambai
lambai sesekali mengusap airmatanya. Inilah pertama kalinya aku keluar dari
tempat lahirku, inilah pertama kalinya aku harus hidup jauh dari keluargaku. Di dalam mobil
bus, handphoneku berdering tanda pesan masuk. Nampak tertulis kata mamas
di atas pesan itu.“Dek, bapak sudah gadekan motor
satu-satunya untuk kamu ke Bandung. Bapak udah gak punya apa-apa lagi selain
rumah tua renyot kita. Belajarlah
yang benar jangan kecewakan keluarga yang di kampung. Kami di sini menunggu
keberhasilanmu. Insyaallah kalau mamas ada uang, mamas bisa kirimi kamu uang”
***
Di
kota bandung yang indah, aku harus berjuang untuk empat tahun demi sebuah gelar
sarjana beserta ilmunya yang akan ku bawa untuk merubah masa depan keluargaku. Mamas sering
mengirimiku uang, namun sebagian uang dari mamas aku masukkan kedalam celengan.
Aku ingat saat dulu mamas memutuskan untuk berhenti di SMK dan bekerja di
bengkel milik orang dekat rumah, mamas sempat bilang kalau suatu saat nanti
mamas ingin punya bengkel sendiri miliknya. Jika uangnya sudah terkumpul nanti,
aku berencana mengembalikan uang itu kepadanya.
Mbak
Patima menjadi teman baik dan mengajariku untuk bertahan hidup di kota yang
jauh dari keluarga. Mbak Patima adalah kakak kelasku sewaktu SMA yang juga
kuliah di tempat yang sama. Sayangnya ekonomi keluargaku tak seberuntung
keluarga mbak Patima yang pekerjaan orangtuanya adalah pegawai negeri. Mbak Patima tinggal bersamaku
dalam satu kosan. Mbak Patima mencarikan aku pekerjaan sebagai penjaga
toko fotocopy plus rental computer di depan kampus sekaligus
mengajar privat bimbel untuk anak anak SD dan SMP. “Dek, mbak tidak akan
lama lagi menemani kamu di ruang kecil kosan ini. Tahun depan mbak harus
sudah sibuk dengan skripsi mbak, biar cepat bias melanjutkan pendidikan
mbak lagi” Mbak Patima mulai membuka pembicaraaannya padaku sambil merebahkan
badannya diatas kasur dan membuka buka buku miliknya.“Iya mbak, mbak beruntung
bisa punya rencana melanjutkan sekolah lagi.Kalau aku, untuk menyelesaikan
sarjana saja serasa tidak mungkin dan banyak sekali yang harus dikorbankan” Ku
perhatikan mbak Patima dan duduk tepat di sampingnya.“Bill Gates said that If
you born poor it’s not your mistake, but if you die poor (expecially knowledge)
it’s your mistake. Ayu, untuk meraih keberhasilan pasti akan ada yang harus
dikorbankan. Entah itu waktu, materi, maupun tenaga. Hanya saja, porsi yang
harus dikorbankan itu berbeda beda setiap orang. Yang perlu kamu ingat,
berhasil itu milik semua orang yang mau berusaha tanpa mengenal lelah dan tidak
takut gagal” mendengar perkataan mbak Patima, aku hanya bisa terdiam mendengarkannya.“Adek,
kamu tahu kalau mbak tahun lalu bisa ke Australia dengan free melalui student exchange. Itu mbak tidak hanya
bermimpi, tetapi mbak sudah merancangnya dan berusaha untuk mendapatkannya dari
awal masuk kuliah.Walaupun sebelumnya beberapa kali mbak ditolak, tapi mbak
bertekad akan
terus mencoba sampai mendapatkannya. Untuk berikutnya, kita bisa kok sama sama
kuliah master
degree dengan free dimanapun itu tempatnya. Banyak beasiswa
terbuka lebar bagi orang yang mau berusaha keras mendapatkannya” Mendengar
tuturan mbak Patima, aku hanya terdiam mencoba menyerap semua perkataan mbak
Patima.
“Bagaimana
caranya?”
“Untuk
saat ini, pertahankan prestasimu dengan baik, aktif organisasi dan pelajari
bahasa asing jika kamu ingin keluar negeri.Karena itu adalah pintu kamu untuk
mendapatkannya” Mendengar penjelasan mbak Ayu, aku hanya tersenyum dan
berbaring diatas kasur mengiringi rasa kantukku yang mulai datang.
“Bicara
memang mudah, tapi tidak dengan kenyataannya di lapangan.Bagaimana aku bisa
membagi waktu dengan semua aktivitas yang melelahkan ini?” ungkapku menggerutu
seraya memejamkan kedua mataku.
***
Baik
itu suka maupun duka yang kurasakan, waktu akan terus berjalan tanpa henti dan
tak dapat terulang. Aku jarang sekali pulang karena waktuku hanya sibuk untuk kuliah
dan bekerja. Aku
mulai berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menuntut ilmu tanpa memberatkan
kedua orangtuaku. Mulai
dari menjadi penjaga fotocopy, rental computer yang sampai mencarikan
tugas milik anak-anak kampus, ikuti kuis dan berbagai jenis lomba menulis, privat, bimbel,
penjual pulsa elektrik, penjual kue keliling milik orang lain, penjaga butik
baju dekat kampus, buruh seterika baju, sampai menjadi penjaga toko buku saat
libur panjang, apapun aku lakukan demi aku bisa bertahan hidup dan
meneruskan studyku.
Jujur,
terkadang aku ingin sekali meninggalkan rutinitas yang melelahkan ini begitu
saja. Rasa
malas dan lelah dengan tugas dan pekerjaan, kerap kali menghantuiku. Seakan dengan mudahnya
aku bisa mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Aku ingin menonton
televisi setelah pulang kuliah, aku ingin bermain dan bergabung dengan teman-teman
saat ada jam kuliah kosong, aku ingin segera makan tanpa berpikir berapa banyak
uang yang aku miliki untuk esok hari ketika aku lapar. Aku hanya bisa tidur
beberapa jam setiap malam, rasanya aku ingin tidur saat aku merasa lelah
setelah kuliah. Ah, selalu saja ada pilihan setiap hendak mengambil keputusan.
Bertanya pada diri sendiri, apa yang akan aku dapat kedepannya saat aku
menyerah dan dibanding dengan apa yang akan aku dapat kedepannya jika aku terus
menantangnya dan menjalaninya?
Selama
tiga tahun berlalu. Di
tahun terakhir, aku masih bertahan sendiri di ruang kecil kosan dekat kampus. Mbak Patima sudah pergi
jauh melanjutkan studynya ke negeri Sakura. Aku harus berjuang
sendiri untuk mewujudkan mimpiku. Mamasku
masih mengirimiku uang walau pernah beberapa kali tak mengirimi. Selama tiga tahun
itulah, aku pulang baru 2 kali disaat lebaran tahun pertama dan kedua. Di
liburan lainnya, aku memanfaatkan dengan mencari pekerjaan di kota. Rindu
kampung halaman dan kehangatan keluarga, tentu aku rasakan. Siapa anak yang tidak
merasa rindu dengan keluarganya? Siapa
anak yang tidak rindu dengan masakan ibunya? Siapa anak yang
menginginkan kumpul dengan keluarganya disaat hari raya dan libur panjang?
Ah…aku harus menahannya.Tapi rasa rindu yang tertahan itu harus segera aku
sembuhkan saat ada pesan dari mamas yang menyuruhku untuk segera pulang ke
rumah.“Pulanglah segera pagi ini dan jangan menunda nunda. Kami sekeluarga di
sini menunggumu”
Pagi
itu juga, aku langsung pulang menggunakan mobil bus yang melewati jalan menuju
kota asalku. Di sepanjang perjalanan, mamas selalu menanyakan dimana keberadaanku.
Hingga tiba di terminal, kulihat mamas mengendarai sebuah sepeda motor yang
jelas bukan miliknya. Wajahnya datar dan tanpa suara kebahagiaan menyambut
adiknya pulang. Ada kantung mata yang lebam
dibawah matanya. Aku tak tahu, apakah mamas begadang setiap malam ataukah mamas habis menangis.“Mamas
kenapa?” Aku bertanya saat mamas memboncengku menuju rumah, tapi mamas tidak
menjawab sama sekali perkataanku.
Semuanya
terjawab, semua terjelaskan saat aku memasuki halaman rumah. Badanku langsung terasa
lemas dan kaki tak mampu lagi berdiri, airmata ini mulai keluar. Seakan aku
ingin berteriak sekuat tenaga namun hanya bisa tertahan. Pandanganku semakin gelap
dan membuatku tak ingat apapun beberapa saat.Lalu terdengar tangisan seorang
wanita di telingaku, aku paham sekali kalau itu adalah suara ibuku.Aku membuka
mataku dan kembali mengingat semuanya.Pikiranku langsung teringat kepada sosok
yang tergeletak lemah di teras ruang tamu rumah dengan kain mori yang
membungkusnya.
Bapak…Sudah
dua tahun bapak berhenti menjadi sopir ketek di sungai musi dan beralih buruh
bangunan. Bapak
sedang sakit dan terjatuh dari ketinggian, aku tak kuasa membayangkan semuanya. Selama ini bapak
mencari nafkah dan bekerja hanya demi isteri dan anak anaknya, khususnya aku
yang kuliah dan membutuhkan biaya banyak. Tapi bukan akhir yang
seperti ini yang aku inginkan. Ya allah begitu banyak ujian yang engkau berikan
kepada hambamu ini. Ya allah Aku ingin masa depanku nanti masih ada bapak,bapak
yg menemaniku dari aku kecil, bapak yang selalu memotivasiku dan mendukungku,
bapak yang tidak pernah kenal lelah dan penuh kesabaran menghadapi anak
anaknya, bapak yang akan tersenyum bangga sambil menatapku. Bapak yang akan
dengan bangga menunjukkan ke tetangga bahwa orang miskin berhak sekolah tinggi.
Ah…ya Allah bukan seperti ini yang diriku inginkan.
Setelah
beberapa minggu lamanya dari kepergian bapak, tenagaku dan semangatku melemah. Seakan tidak ada
artinya lagi aku melanjutkan semua mimpiku. Semuanya hilang
terkubur tanah merah bersama bapak. Aku tidak lagi berkerja dimana mana
ataupun sibuk dengan bimbingan skripsiku, aku masih di rumah. Banyak tetangga yang
berbisik kalau bapak sebelumnya terlalu bekerja dengan ngoyo tanpa kenal lelah
hanya demi menguliahkanku di Bandung. Semua bilang kalau aku tidak punya
perasaan dengan orangtua, atau aku sudah memaksakan kehendakku untuk belajar di
Bandung. Ah, semua ungkapan tetangga begitu menusuk batinku.
Sedikit aku merasa menyesal akan keputusan yang sudah aku ambil selama
ini.“Dek, kapan kamu balik ke kota? Kapan kamu pakai topi wisuda?”Mamas duduk
disampingku di resban panjang (kursi panjang terbuat dari bambu) di teras depan
rumah. Aku hanya terdiam karena bingung harus menjawab apa. “Apa keinginanku ini
memang benar benar menjadi beban keluarga ya, mas? Kalau iya, apa lebih baik
Ayu berhenti disini saja biar bisa bantu ibu dan mamas kerja?”
“Ayu
Relista, kata bapak dulu bu bidan yang kasih namanya. Katanya supaya kamu
menjadi anak perempuan yang memiliki kasih sayang dan dapat meraih cita
citanya. Ayoo
wujudkan itu!” mendengarkan ungkapan mamas, aku hanya mengerutkan kening.
“Oh
ya, itu arti dari namaku” aku berkata lirih sambil tersenyum.
“Dek,
jangan gubris perkataan orang-orang. Kamu harus ingat kalau
semasa hidup bapak, dia hanya ingin kamu bisa jadi orang sukses dan merubah
anggapan orang terhadap orang miskin seperti kita. Kedepannya, mereka semua
akan tahu hasil dari perjuangan kita ini. Kamulah yang menjadi awal perubahan
di keluarga kita dan untuk keturunan berikutnya. Apakah kamu mau, keluarga kita
turun temurun akan miskin terus? Semua
orang juga tentu akan meninggalkan dunia ini, makanya kamu harus berjuang
memberikan contoh untuk keturunanmu selanjutnya. Jangan kecewakan perjuangan
bapak selama ini, bapak pasti menunggumu menyelesaikan belajarmu.Berangkatlah
ke Bandung dan selesaikan krispimu?”
“Skripsi
mas, bukan krispi. Kalau
krispi itu gorengan” Aku tersenyum kecil sambil membenarkan perkataan
mamas.Lalu aku menyodorkan sebuah celengan tabung besar kepada mamas.
“Ini
punyakamu, kenapa diberikan ke mamas?”
“Bukan,
ini milik mamas. Dari hampir mau empat tahun mamas selalu kirimi aku uang. Aku
membaginya untukku dan untuk tabungan ini. Aku ingin mamas punya usaha sendiri
tidak ikut orang walaupun buka kecil kecilan dulu. Insyaallah Ayu ada lenggang
waktu sambil kerja” Mendengar perkataanku, mamas tersenyum dan memelukku.
Beberapa
hari kemudian setelah percakapanku dengan mamas, aku kembali lagi ke kampus. Semakin bulan berlalu
aku mulai bisa kembali kerja dan menyelesaikan tugas akhirku. Di perguruan
tinggi aku bertemu seorang dosen lulusan
luar negeri yang membuatku
tertarik untuk mendekatinya. Dia sering memotivasi mahasiswanya untuk jangan
pernah menyerah meraih impian.“Nak, dalam kehidupan banyak pintu menuju sukses.
Kalau satu pintu tertutup lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu
lama dan terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup tersebut sehingga
kita tidak bisa mencapai kekuksesan itu”
Setelah
berbagai cara menghubunginya, akhirnya aku bisa berbincang dekat dengan dosen
itu. Dia mendengar cerita kehidupanku dan tujuanku selanjutnya. Dosen itu menyarankan
aku untuk melakukan tes kemampuan bahasa inggrisku. Dia menyarankanku untuk
bisa mengambil beasiswa Study di london dan segera membuat motivation
latter yang bagus. Surat rekomendasi dari professor di luar negeri bisa
dibantunya. Tinggal
bagaimana caraku menyakinkan pemberi beasiswa saat interview agar aku pantas mendapatkannya. Mbak Patima selalu
mengirimiku tips tips mendapatkan beasiswa melalui email. “Adek ayu, pergilah keluar dari
negerimu. Kamu akan mengetahui banyak hal dengan nyata, seperti apa dunia ini
yang sebenarnya. Orang bijak seperti Saint agustine
berkata The world is a book, and those who do not travel read only a
page. Jika ada kesempatan, kenapa tidak kau gunakan”
Wisudaku
berjalan lancar. Aku
masuk menjadi
mahasiswa terbaik kedua. Itu sudah cukup untukku membuat mamas dan ibuku
tersenyum bahagia. Sayangnya, di moment yang indah ini. Moment yang
selalu ditunggu-tunggu ini, aku tak bisa melihat bapak disampingku dan
tersenyum bersamaku. Ku cium kedua kaki ibu dan mamas seraya
mengucap banyak terima kasih kepada mereka. Karena mereka lah, aku masih
bertahan sampai moment seperti ini.Karena merekalah aku masih memiliki semangat
untuk meraih mimpiku. “Untuk
pertama kalinya dalam sejarah hidup kita, ada yang bisa sampai lulus kuliah.
Untuk pertama kalinya ada yang menjadi sarjana di keluarga kita” Mamak nampak
terlihat sedu mengusap air matanya. Ku dekati mamak dan kupeluk tubunya.
***
Sekarang. London, Maret 2017.
Suhu
sekitar 20 derajat begitu nyaman dengan langit yang biru dan dikelilingi bunga
yang bermekaran. Aku duduk di tepi danau. Diantara ribuan orang
orang yang bersuka cita itu, ada aku yang tengah duduk dan
menyandang Master degree dan sebentar lagi akan meninggalkan kota besar ini.
Hari ini aku merasa entah berada di negeri mana.Terkadang aku bertanya pada
diriku sendiri, bagaimana aku bisa berada jauh bermil mil dari kampung
halamanku? Padahal
sebelumnya aku belum pernah keluar dari daerahku sendiri. Jauh bermil mil
meninggalkan ibu, mamas dan adikku serta mendiang bapakku. Ah, aku masih
teringat semua kisah itu. Rasa rinduku sudah memuncak saat mamas berkata kalau
usahanya sendiri berjalan lancar, adikku masuk ke SMA Negeri di Palembang dan
ibuku sangat merindukan kepulanganku. Segala media sosial, ku gunakan untuk
berkomunikasi dengan mamas
dan keluarga yang ada di kampung. Tetapi setelah aku pulang, beasiswa doctor sudah
memanggilku untuk segera mengikuti wawancara.
Kini
aku mengerti, keberhasilan ini buah dari mimpi yang kuat,
airmata, keperihatinan, pengorbanan, kesabaran, dan kerja keras tanpa menyerah
sedikitpun.Kini aku siap, siap untuk bertemu orangtuaku dengan senyuman bangga
seraya melepas rindu yang selama ini tertahan.Aku siap, siap untuk merasakan
perbedaan dan menginspirasi serta membuktikan kepada semua orang bahwa orang
miskin berhak berhasil dan berhak bahagia.Aku siap, siap membuktikan bahwa
cinta dari keluarga, motivasi dan dukungan itulah kekuatan terbesar untuk
meraih impian seorang anak.
Kata
siapa orang miskin tidak boleh memiliki cita cita? Kata siapa orang miskin
tidak bisa sukses dalam hidupnya? Belva Davis said, Don’t be afraid of the
space between your dream and reality. If you can dream it, you can make it
happen. Jika semua orang memiliki tekad yang kuat dan berusaha tanpa kenal
kata menyerah, maka Nothing
is impossible.
Selesai
Komentar
Posting Komentar