Surat Untuk Alina
Oleh
: Sanjay
Kekasihku
Alina,
Saat surat ini kamu baca mungkin aku sudah berada
jauh bermil-mil dari tempat pertama kita bertemu. Aku kuatkan diriku yang rapuh
untuk pergi jauh keluar dari kampung halaman seorang diri. Aku pergi dengan
tanpa petunjuk. Tidak ada kerabat yang bisa aku temui. Tak seorangpun yang aku
kenal disepanjang jalan yang telah kulewati. Aku pergi dengan membawa luka
dihati yang dengan sengaja kau lukis.
Minggu-minggu
setelah kamu memberi tahu akan menikah dengan laki-laki lain membuatku jatuh
sakit. Hampir sebulan aku terbaring lemah tak berdaya diatas kasur dalam
gubukku. Minggu-minggu yang sangat menyedihkan dalam sejarah hidupku. Aku
terbaring lemah tak berdaya dengan harapan kamu akan menjengukku dalam sakitku.
Harapan hati hanya untuk melihat senyummu dan mendengar langsung kabar
pernikahanmu dari bibir manismu. Tapi setelah bulan purnama berganti tsabit
kamu juga tak kunjung datang untuk menjengukku yang sedang lemah. Bahkan untuk
menjengukku yang sakit pun kamu tak mau. Hanya secarik kertas kumal dan
undangan pernikahanmu yang datang kepadaku. Dalam secarik kertas kumal tersebut
hanya tertulis maafkan aku. Alangkah
kejam dunia dalam pandanganku, Alina.
Kabar tentang pernikahanmu semakin terdengar
ditelingaku. Kabar yang aku terima, laki-laki yang akan kamu nikahi itu
merupakan seorang saudagar yang tak sengaja bertemu denganmu di pelabuhan.
Kabar lain juga mengatakan bahwa kalian akan menggelar acara tujuh hari tujuh
malam tanpa berhenti dan setelah acara selesai kalian akan pergi untuk bulan
madu ke pulau Banda. Kamu tahu hatiku semakin sakit setelah mendengar kalian
akan bulan madu ke pulau Banda. Alina, ingatkah dirimu? Pulau Banda adalah
janji kita bersama. Kita berjanji akan menetap disana setelah kita berkeluarga
nanti. Kita berjanji untuk menikmati senja bersama disana. Setelah menikmati
senja kita akan bermalam di rumah panggung milik orang tuaku dulu. Saat pagi
kamu akan membuatkan kopi untukku, kemudian aku akan mengecup kening mu. Lalu
kamu akan melambaikan tangan didepan pintu melihatku pergi melaut. Janji itu hampir
saja terwujud jika kamu mau menunggu sebentar lagi hingga uangku terkumpul. Aku
tak menyangka kamu lebih memilih mewujudkannya dengan laki-laki lain. Laki-laki
yang baru kau kenal selama seminggu. Laki-laki yang kamu sendiri tidak tahu
apakah dia menyukai bulan yang menggantung. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan
saat memutuskan untuk menikah dengannya dan bukan denganku. Hingga akhirnya aku
sadar bahwa tentang Banda hanya aku yang berjanji. Aku tidak lagi memikirkan
janji-janji itu karena aku paham bahwa masa depanmu memang bukan denganku.
Alina, sekarang aku berada diatas kapal. Kemarin aku
tidak sengaja bertemu dengan nakhoda yang membutuhkan pembersih wc di kapalnya.
Aku mendaftarkan diri dan diterima. Kemarin aku berlayar disekitar laut Maluku,
aku teringat Banda. Maka bersama deru ombak dan birunya laut aku lepaskan
janji-janji kita dulu. Aku Biarkan ia terbawa ombak dan sampai ke Banda untuk
bertemu denganmu yang sedang berbulan madu.
Minggu-minggu pertama aku dikapal tidak begitu
banyak pekerjaan. Aku hanya membersihkan wc dua hari sekali selebihnya aku
tidak ada kegiatan. Saat waktu luang dan tidak ada kegiatan seperti itulah aku
kembali memikirkanmu. Memikirkan sakit yang ku rindu. Aku melihat fotomu sambil
duduk diatas menghadap birunya laut. Sungguh itu suasana yang sangat
melankolis. Perlahan hatiku mulai meringis. Pikiranku mulai melayang jauh ke
masa lalu. Udara panas laut yang asin dengan sekejap berubah menjadi aroma
minyak wangimu. Seperti ada layar tancap ditengah laut yang memutar semua
kenangan masa lalu. Wajahmu yang manis dengan lesung pipi dikedua pipimu
terlihat disana. Suara ombak yang menghantam lautan terdengar seperti gelak
tawamu. Hingga senja datang dengan warna jingga yang merekah. Sama persis
seperti jingga yang sering kita lihat di kampung dulu.
Pada senja kali ini aku kembali menanyakan perihal
kenangan-kenangan kita dahulu. Kenangan saat kita duduk di tepi danau sambil
melihat senja, dirimu yang mengatakan padaku bahwa senja adalah lambang akhir
yang bahagia. Alina, senja kali ini sangat berbeda. Senja dan keindahannya
bukan lagi sesuatu yang sama. Setiap senja kali ini selalu membawa sakit yang
tidak bisa aku jelaskan. Ternyata senja bukan hanya lambang akhir yang bahagia
tapi juga memiliki arti cinta yang menderita. Sejak itu aku mulai mengutuk
senja. Aku tidak lagi menikmati senja. Aku buang jauh semua kenangan kita dan
senja. Maka untuk membuang itu aku ubah jadwalku untuk membersih wc pada waktu
senja agar aku tidak ada waktu untuk mengingatmu dan senja yang pernah bahagia.
Setelah aku mengubah jadwal tugasku maka waktu
tenangku pada malam hari. Malam hari dikapal layar adalah hal yang sangat baru
bagiku. Udara dingin yang kering menembus kedalam pori-pori kulitku. Sunyi dan
gelap. Awal-awal dulu aku sering sekali muntah-muntah karena mabuk. Sekarang
malam hari aku habiskan dengan duduk di atas geladak kapal yang hanya diterangi
sinar rembulan. Biasanya aku duduk sambil bermain gitar yang aku pinjam dari
salah satu kru kapal lainnya. Ditemani langit yang berbintang dan sinar
rembulan, jari-jariku mulai memetik senar gitar. Aku memetik senar sesuai
dengan suasana hatiku yang muram. Irama yang dihasilkan sangat sendu. Kadang
juga tanpa sadar air mataku tumpah tak tertahankan. Seperti ada rasa yang
membuncah didadaku. Setelah bermain gitar aku meneriakkan namamu dengan kencang
dengan harapan kamu mendengar dan datang menghampiriku. Itu aku lakukan setiap
malam. Hingga suatu malam datanglah nakhoda kapal menghampiriku. Ia telah
memerhatikan sejak aku masih menikmati senja yang muram. Sang nakhoda duduk
disampingku dan memintaku untuk memainkan gitar dengan irama yang sama. Aku
mulai memetik gitar dan memainkan irama sendu tersebut. Irama yang menusuk ke hati.
Mengalun pelan diudara dan menerkam didada. Walau ada sang nakhoda aku tak
kuasa menahan sesak didadaku. Aku menangis tersendu. Padahal telah aku tahan
tapi aku tak kuasa karena yang aku tangisi itu kamu, Alina. Kemudian setelah
itu ia pergi tidur tanpa mengucapkan sepatah kata. Malam berikutnya ia datang
lagi dan kembali memintaku memainkan irama yang sama. Aku kembali menangis
sendu ditemani sinar rembulan yang tepat diatas kepalaku. Sang nakhoda kembali
pergi tidur tanpa mengucapkan sepatah kata. Hingga malam ketiga sang nakhoda
datang lagi dan memintaku memainkan gitar dengan irama yang sama. Kali ini ada
yang berbeda. Sebelum aku menangis, ia menanyakan siapa yang ada dibalik irama
tersebut? Aku tidak bisa menjawabnya, Alina. Aku hanya diam mematung sambil
mengingat dirimu yang telah berada dalam pelukan orang lain. Melihat aku tidak
menjawab ia mulai bercerita. Ia menceritakan kehidupan masa kecilnya, kisah
cintanya hingga sakit hati yang membawanya menjadi nakhoda kapal. Diakhir malam
itu ia memberi nasihat padaku bahwa kita
bisa saja marah dengan keadaan, kita bisa saja mengutuk tuhan dengan takdir
kita, tapi pada akhirnya kita hanya bisa membiarkan itu pergi. Biarkan kenangan
itu pergi dengan ikhlas. Lepaskanlah kenangan itu dan mulailah hidup baru.
Setelah itu ia pergi tidur dan tidak pernah datang lagi pada malam-malam
berikutnya.
Alina, surat ini hampir sampai pada bagian terakhir.
Namun sebelum sampai pada bagian terakhir aku ingin menyampaikan beberapa hal. Bersama
surat ini aku ingin mengucapkan terima kasih untuk hari-hari kita yang dulu. Terima
kasih untuk hati yang pernah kamu bagi denganku. Sekarang aku telah
merelakanmu. Aku ikhlas dengan semua hal yang telah kamu putuskan secara
sepihak. Semua kenangan kita telah aku lepas di birunya laut. Kini aku tidak
lagi melihat senja yang muram dan tidak lagi memainkan irama sendu saat malam.
Aku menerima semua hal tentangmu termasuk tentang kepergianmu karena pada
akhirnya kita hanya bisa membiarkannya pergi. Sekarang setelah satu setengah
tahun berlayar aku tidak lagi menjadi pembersih wc. Sekarang aku telah menjadi
nakhoda kapal karena nahkoda kapal yang lama telah memulai hidup baru dengan
perempuan yang ia temui di saat kami singgah di pelabuhan yang tak aku kenal
namanya sebulan yang lalu. Aku sudah mengikhlaskanmu. Kuharap kamu juga
mengikhlaskan aku. Biarkan saja diriku terluntang-lantung di lautan mengikuti
arah ombak. Jangan ingat lagi aku, biarkan aku berlayar diatas
kenangan-kenangan dan janji-janji kita yang telah aku lepaskan ke laut karena
dengan kenangan dan janji yang tidak terwujud itulah aku menjadi nahkoda
sekarang ini. Terima kasih juga telah menamai bayi kalian dengan namaku dan
maaf karena dengan surat ini aku telah membawamu pergi mengingat kenangan kita
dulu.
Nahkoda Kapal Kenangan
Mahesa sadhana
Komentar
Posting Komentar